Musafir merupakan golongan yang mendapatkan keringan dalam berpuasa Ramadan. Adapun ketentuan untuk menjadi musafir yang perlu muslim ketahui. Berikut penjelasannya. Mengutip dalam Buku Tuntunan Ibadah Praktis karya Asep Shalahudin, pada Ramadan dijelaskan musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh mendapat keringanan dalam berpuasa.
Dalil yang mendasari terhadap golongan orang yang mendapat keringanan dalam berpuasa salah satunya tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184:
فَاَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Syarat Menjadi Musafir
Meskipun dikatakan menjadi musafir adalah seseorang yang menempuh perjalanan jauh, namun ulama berpendapat dikatakan seorang musafir dalam Islam jika menyangkut 3 syarat berikut.
Dikutip dari Buku Pintar Beribadah Perjalanan oleh Mahima Diahloka, berikut penjelasannya.
Keluar dari Wathan
Ini berarti seseorang harus meninggalkan daerah atau tempat tinggalnya. Jika seseorang belum meninggalkan daerah tempat tinggalnya, maka ia tidak dapat dianggap sebagai musafir. Artinya, perjalanan harus dimulai dari tempat tinggalnya.
Punya Tujuan Tertentu
Perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas dan spesifik. Ini berarti tidak sekadar berjalan tanpa tujuan atau arah tertentu. Ada suatu tempat yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam perjalanan tersebut.
Memenuhi Jarak Tertentu
Untuk dianggap sebagai musafir, seseorang harus melakukan perjalanan dengan jarak minimal tertentu. Dalam konteks ini, jarak minimal yang harus ditempuh untuk dianggap sebagai musafir adalah sekitar 80 kilometer dari tempat tinggalnya.
Sebagian Ulama berpendapat jika minimal jarak yang harus ditempuh ialah empat burud. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda;
“Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian meng- qasar shalat jika kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan”. (HR Ad-Daruquthuny)
Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid yang dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km. Selama perjalanan, orang tersebut tidak berencana untuk menetap di suatu daerah lebih dari 3 hari.
3 Kondisi Musafir saat Puasa Ramadan
Merangkum buku Keistimewaan Puasa Menurut Syariat & Kedokteran karya Syeikh Mutawalli Sya’rawi dan buku Seri Fiqih Kehidupan karya Ahmad Sarwat. Diantaranya:
Kondisi Musafir Merasa Berpuasa Akan Menyulitkan Dirinya Sendiri
Jika kondisi perjalanan sangat berat dan menyulitkan, seperti terjebak dalam kemacetan atau antrian transportasi yang panjang dan melelahkan, maka musafir diperbolehkan meninggalkan puasa dan menggantinya di hari lain. Hal ini sesuai dengan prinsip syariat Islam yang memperbolehkan keringanan dalam situasi yang memerlukannya.
Kondisi Musafir Masih Sanggup Dan Biasa Saja Saat Berpuasa
Jika musafir masih merasa mampu dan nyaman untuk berpuasa, maka lebih baik untuk tetap melaksanakan puasa. Hal ini sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW yang memberikan pilihan antara berpuasa atau berbuka bagi musafir yang mampu.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:
وَأَفْطَرَ فَمَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Maka siapa yang ingin tetap berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga dipersilahkan.” (HR. Bukhari)
Kondisi Musafir Berat Untuk Berpuasa
Jika musafir merasa sangat berat untuk berpuasa karena khawatir akan merasa lapar dan haus secara berlebihan, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan mengqadha puasa tersebut di luar bulan Ramadan. Pendapat ini juga disandarkan pada fatwa para ulama salaf yang menekankan bahwa puasa yang dilakukan dalam perjalanan tidak sah, dan harus diganti (qadha) setelah kembali menetap (mukim).
Ibn Hajar dalam kitab Fath Barri berkata;
“Para ulama salaf lain berpendapat “Tidak sah puasa yang dilakukan dalam perjalanan, dan barangsiapa yang berpuasa dalam perjalanan, maka dia harus meng-qadha-nya ketika sudah menetap (mukim).”
Berdasarkan firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah:185 yang
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”
Demikian penjelasan mengenai “Keringanan Berpuasa bagi Musafir: Ketentuan dan Kondisi Penting yang Perlu Diketahui Muslim” Semoga berkah dan bermanfaat.
Apakah Anda butuh bimbingan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh? Maka Pusat Pendaftaran Umroh adalah pilihan yang tepat. Pusat Pendaftaran Umroh merupakan Travel Haji dan Umroh yang profesional dan sudah berpengalaman.
Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk Anda.
Sumber: detikHikmah
Image: https://tinyurl.com/5xayfdfn