Menggali Kedalaman Spiritual dan Kewajiban dalam Ibadah Haji

Pelaksanaan ibadah haji tidak hanya dibentuk oleh rukun-rukun haji. Pelaksanaan ibadah haji yang agung juga dilengkapi dengan sejumlah kewajiban haji yang harus dilaksanakan oleh jamaah. Kewajiban haji berbeda ketentuannya dengan rukun haji. Sejumlah kewajiban haji bisa ditinggalkan karena uzur syar’i yang jelas tanpa membatalkan dan merusak haji. Ibadah haji dari jamaah yang meninggalkan wajib haji tetap sah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rukun haji merupakan inti dari ibadah haji, namun pelaksanaannya juga didukung oleh pemenuhan kewajiban-kewajiban yang menguatkan spiritualitas dan kepatuhan jamaah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.Hanya saja jamaah haji yang meninggalkan wajib haji dikenakan denda atau dam.

Terdapat ayat dibawah, menjelaskan;

فصل: واجبات الحج وهي ما يصح بدونها مع الدم، وكذا الإثم إن لم يعذر ستة متفق على الميقات والرمي منها، ومختلف في البقية، بل قيل: إنها سنة، ولا دم فيها واثنان منها -وهما الميقات وطواف الوداع- واجبان للعمرة أيضا

“Pasal, (wajib-wajib haji) yaitu sesuatu yang hajinya tetap sah tanpa melaksanakan wajib tersebut dengan konsekuensi dam, demikian juga berdosa bila meninggalkan wajib haji tanpa uzur berjumlah enam di mana dua disepakati ulama yaitu ihram dari miqat dan melontar jumrah. Sedangkan sisanya diperselisihkan ulama perihal kewajibannya. Bahkan sebuah pendapat mengatakan, sisanya itu sunnah dalam haji dan tidak ada dam padanya. Sementara dua lainnya, yaitu ihram dari miqat dan tawaf wada’ merupakan wajib umrah juga.” (Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Busyral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], halaman 539).

Adapun berikut ini adalah pelaksanaan wajib haji yang dapat diganti dengan dam:

Ihram Dari Miqat

Kalimat tersebut menjelaskan tentang salah satu kewajiban atau tindakan yang harus dilakukan oleh jamaah haji sebelum memulai ibadah haji. Maksudnya adalah bahwa setiap jamaah haji harus mengambil ihram haji dari miqat atau titik tolak yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Miqat adalah titik atau lokasi yang telah ditetapkan di sekitar Mekah, di mana jamaah haji harus mengenakan pakaian ihram dan berniat untuk memulai ibadah haji. Dengan mengambil ihram dari miqat dan melakukan niat ihram haji di lokasi tersebut, jamaah haji secara resmi memasuki status ihram, yang mengharuskan mereka untuk mematuhi aturan-aturan khusus selama menjalani ibadah haji, seperti larangan menggunakan pewangi, memotong rambut, atau melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dalam status ihram.

Adapun miqat makani (batas awal tempat) haji adalah sebagai berikut:

  • Dzulhulaifah atau Bir Ali, lokasi miqat bagi penduduk Madinah atau jamaah haji yang melewatinya
  • Juhfah, lokasi miqat bagi penduduk Syam atau jamaah haji yang melewatinya
  • Yalamlam, lokasi miqat bagi penduduk Yaman atau jamaah haji yang melewatinya
  • Qarnul Manazil atau As-Sail, lokasi miqat bagi penduduk Najd atau jamaah haji yang melewatinya
  • Dzatu Irqin, lokasi miqat bagi penduduk Irak atau jamaah haji yang melewatinya.

Jamaah haji Indonesia gelombang I di Madinah yang bergerak menuju Makkah mengambil miqat di Dzulhulaifah atau Bir Ali. Sedangkan jamaah haji Indonesia gelombang II yang langsung ke Makkah melalui Jeddah dapat mengambil miqat makani di atas udara sejajar dengan Yalamlam atau Qarnul Manazil.

Mabit di Muzdalifah

Jamaah haji wajib melakukan mabit di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Jamaah haji melakukan mabit lewat tengah malam dini hari nahar (10 Dzulhijjah) setelah wukuf di Arafah. Mabit di Muzdalifah tidak harus bermalam semalam suntuk, tetapi cukup sekadar hadir sesaat atau bahkan hanya melalui areanya saja sebagaimana wukuf di Arafah. Jamaah haji tidak dianjurkan untuk ibadah pada malam 10 Dzulhijjah setelah wukuf agar dapat beristirahat untuk menyiapkan fisik guna melaksanakan rangkaian manasik haji lainnya.

Adapun terkait kebijakan mabit di Muzdalifah, jamaah haji Indonesia diharuskan untuk mengikuti agenda perjalanan haji Indonesia yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI. Ini mengharuskan mereka untuk berada di tempat yang telah ditentukan dan mengikuti jadwal yang telah diatur agar proses pelaksanaan ibadah haji berjalan sesuai dengan tata tertib yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Mabit di Mina

Jamaah haji wajib bermalam (mabit) di Mina selama 3 malam: 11, 12, dan 13 Dzulhijjah terutama bagi jamaah haji yang tidak melakukan nafar awwal. Mereka yang melakukan nafar awwal hanya bermalam sampai hari kedua di hari tasyrik, yaitu 12 Dzulhijjah. Mabit di Mina merupakan bagian penting dari ibadah haji, di mana jamaah haji menghabiskan waktu untuk memperbanyak ibadah dan dzikir kepada Allah. Selama masa mabit di Mina, jamaah haji juga melakukan lempar jumrah, yaitu melempar jumrah aqabah pada hari ke-10, 11, dan 12 Dzulhijjah sebagai simbol penghancuran hawa nafsu dan penolakan terhadap godaan setan.

Lontar Jumrah Aqabah

Jamaah haji wajib melontar jumrah aqabah dengan 7 batu kerikil pada 10 Dzulhijjah yang dimulai lewat tengah malam di Mina. Tetapi jamaah haji boleh melontar jumrah aqabah pada hari berikutnya, yaitu 11 Dzulhijjah sampai hari Tasyrik berakhir, yaitu 13 Dzulhijjah. Pelaksanaan lempar jumrah merupakan salah satu ritus penting dalam ibadah haji, yang melambangkan penolakan terhadap godaan syetan dan penghancuran hawa nafsu.

Lontar Tiga Jumrah: Ula, Wustha, Aqabah

Jamaah haji wajib melontar tiga jumrah; ula, wustha, dan aqabah selama hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) di Mina. Jamaah haji boleh melontar jumrah sejak zawalus syamsi atau mulai waktu zuhur pada hari 11 Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik, terbenam matahari pada 13 Dzulhijjah. Setiap hari jamaah haji wajib melontar jumrah ula dengan 7 batu kerikil, jumrah wustha dengan 7 batu kerikil, dan jumrah aqabah dengan 7 batu kerikil secara berurutan. Proses melontar jumrah ini merupakan salah satu rangkaian penting dalam pelaksanaan ibadah haji yang melambangkan penolakan terhadap godaan syetan serta penghormatan terhadap ketetapan-ketetapan agama.

Tawaf Wada’

Jamaah haji yang ingin meninggalkan Makkah wajib melakukan tawaf wada’ atau tawaf perpisahan kecuali bagi perempuan haid dan penduduk Makkah. Jamaah haji yang telah menyelesaikan rangkaian manasiknya wajib melakukan tawaf wada’. Ulama memperselisihkan tawaf wada’ sebagai wajib haji. Sebagian ulama mengatakan tawaf wada’ sebagai ibadah tersendiri, bukan bagian dari rangkaian manasik haji. Namun, penting untuk diingat bahwa pelaksanaan tawaf wada’ adalah suatu tindakan yang sangat dianjurkan sebagai penutup dari ibadah haji, di mana jamaah haji memohon maaf kepada Allah dan meninggalkan Tanah Suci dengan hati yang bersih dan penuh berkah.

Adapun jamaah haji perempuan yang haid, nifas, jamaah yang memiliki luka dan dikhawatirkan mengotori Masjidil Haram, dan jamaah haji yang memiliki uzur lainnya tidak wajib melakukan tawaf wada’. Sebenarnya perihal jumlah wajib haji di kalangan ulama bersifat fleksibel. Sebagian ulama menyebut wajib haji hanya lima poin karena lontar jumrah aqabah pada 10 Dzulhijjah dan lontar jumrah ula, wustha, dan aqabah pada 11, 12, 13 Dzulhijjah dihitung satu poin.

Banyak juga ulama yang tidak menyebut poin ketujuh wajib haji yang harus dilaksanakan oleh jamaah, yaitu menjaga diri dari larangan-larangan ihram. Ini menunjukkan bahwa interpretasi mengenai jumlah wajib haji bisa bervariasi di antara ulama, namun tetap menjaga inti dari ajaran agama yang mendasarinya.

 

Demikian penjelasan mengenai “Menggali Kedalaman Spiritual dan Kewajiban dalam Ibadah Haji” Semoga berkah dan bermanfaat.

Apakah Anda butuh bimbingan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh? Maka Pusat Pendaftaran Umroh adalah pilihan yang tepat. Pusat Pendaftaran Umroh merupakan Travel Haji dan Umroh yang profesional dan sudah berpengalaman.

Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk Anda.

Sumber: Nu.online

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *