Keabadian Pertemanan dalam Bayang-Bayang Kepemimpinan: Perspektif Islam terhadap Hubungan Sosial yang Berkekalan

Kalimat ini “Tidak ada pertemanan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi” sering muncul, terutama jelang perhelatan hajat demokrasi. Sebagai ummat Rasulullah tentunya hal ini menjadi sangat penting untuk dikritisi dalam Islam. Dalam Al-Qur’anul Karim digambarkan, bahwa pertemanan orang-orang bertaqwa itu abadi hingga hari akhir.

Ayat-ayat yang menegaskan keabadian pertemanan berdasarkan taqwa dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalin hubungan sosial yang baik dan kekal di dunia dan akhirat.

Read More

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

الأخلاء يومئذ بعضهم لبعض عدو إلا للمتقين

“Pertemanan di hari itu [hari qiyamat] satu sama lain menjadi musuh, kecuali orang-orang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf/ 43: 67).

Allah ‘azza wa jalla memberikan jaminan kepada siapa saja dari orang-orang beriman, lalu diikuti oleh keturunannya, bahwa mereka akan dikumpulkan kembali dalam satu hamparan-Nya yang teramat mulia di akhirat kelak. Jaminan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan-Nya kepada hamba-hamba yang beriman serta keluarganya, yang akan bersatu kembali dalam kebahagiaan surga sebagai bagian dari ganjaran atas iman dan amal shaleh mereka.

والذين أمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء كل امرئ بما كسب رهين

“Orang-orang beriman beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka [di dalam surga], dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal [kebajikan] mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thuur/ 52: 21)

Pertemanan atau kekerabatan bagi orang-orang muttaqiin itu, bukanlah sebatas ada kepentingan sesaat. Melainkan persahabatan yang melekat dalam jiwa dan mampu mengantarkan mereka pada kemuliaan alam akhir. Kehadiran persahabatan dan ikatan kekeluargaan yang didasarkan pada ketakwaan tidak hanya menjadi kebahagiaan dunia, tetapi juga merupakan bekal yang mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi di akhirat.

Dengan demikian, narasi popular sebagaimana diawal tidak layak untuk diabadikan.

Biasanya, dalam konteks kepemimpinan atau kekuasaan, kita sering dikenalkan dengan istilah “orang dekat” atau “orang dalam”. Atau lebih spesifik lagi menggunakan sebutan “orang kepercayaan” yang dalam bahasa wahyu menggunakan kata bithaanah dengan terjemah yang beragam. Istilah ini merujuk kepada individu-individu yang mendapatkan kepercayaan penuh dan akses yang luas dari pemimpin atau orang yang berkuasa. Mereka memiliki peran yang signifikan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan berbagai tugas yang bersifat rahasia atau penting dalam lingkungan kepemimpinan.

Larangan Al-Qur’an tentang dijadikannya selain orang beriman sebagai “teman kepercayaan” ada di dalam QS. Ali ‘Imran/ 3: 118 yang berbunyi;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لَا يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالًاۗ وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْۚ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ ۗ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاٰيٰتِ  اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ 118.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.”

Sedangkan dalam hadits Rasulullah sering diterjemahkan dengan ‘para pembisik’. Sekalipun berbeda istilahnya, namun hakikatnya adalah sama. Imam Abu Zakariya an-Nawawi menuliskan bab khusus dalam kitab monumental Riyadhus Shalihin, terkait anjuran untuk para hakim, sultan dan yang sederajat agar mereka tidak menjadikan para kabinetnya dari kalangan orang-orang yang buruk, serta mewaspadai terjadinya kroni-kroni yang jahat. Tertera dengan jelas dalam bab tersebut:

‘Hatthsul qaadhiy was sulthaan wa ghaiyrihimaa min wulaatil umuuri ‘alaa ittikhaadzi waziiri shaalih wat tahdziiru min quranaais suui.’

Ini menunjukkan bahwa urusan ‘orang dekat’ yang akan menjadi pendamping sang pemimpin benar-benar kalangan yang bisa dan mampu dipercaya.”

Tertera dengan jelas dalam bab tersebut:

“Hatstsul qaadhiy was sulthaan wa ghaiyrihimaa min wulaatil umuuri ‘alaa ittikhaadzi waziiri shaalih wat tahdziiru min quranaais suui.”

Imam Nawawi menekankan pentingnya memilih menteri yang shaleh dan mewaspadai dari orang-orang jahat dalam lingkungan pemerintahan, karena hal ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan stabilitas negara. Pemilihan orang-orang terdekat yang dapat dipercaya dan berintegritas merupakan aspek krusial dalam menjaga keadilan, keamanan, dan ketertiban, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang diterapkan dalam tata kelola pemerintahan Islam.

Di antara hadits-hadits mulia yang dibawakannya adalah sebagai berikut:

مابعث الله من نبي ولا إستخلف من خليفة، إلا كانت له بطانتان؛ بطانة تأمره بالمعروف وتحضه عليه، وبطانة تأمره بالشر وتحضه عليه. والمعصوم من عصم الله

“Tidaklah Allah ‘azza wa jalla mengutus seorang Nabi atau mengangkat seorang khalifah [pemimpin], melainkan padanya ada dua pengawal [orang dekat, orang kepercayaan, atau pembisik]; pembisik yang memerintahkan perkara baik dan ia mendukungnya serta pembisik yang memerintahkan perkara buruk dan ia mendukungnya. Orang yang terpelihara, adalah yang dijaga Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhumaa).

Cara membedakan antara pembisik yang baik dengan pembisik yang buruk

Ummul Mukminiin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa menuturkan sabda Rasulullaah berikut ini:

إذا أراد الله بالأمير خيرًا جعل له وزير صدق؛ إن نسي ذكَّره، وإن ذكَر أعانه، وإذا أراد به غير ذلك جعل له وزير سوء؛ إن نسي لم يذكِّره، وإن ذكَر لم يُعِنه

“Apabila Allah ‘azza wa jalla menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah jadikan baginya menteri (amir) yang baik; jika pemimpin lupa ia mengingatkannya, jika pemimpin ada dalam kebenaran ia membantunya. Dan apabila Allah ‘azza wa jalla menghendaki selain itu [bukan kebaikan] bagi seorang pemimpin, maka Allah jadikan baginya menteri (amir) yang buruk; jika pemimpin lupa ia tidak mengingatkannya, jika pemimpin ada dalam kebenaran ia tidak membantunya.” (HR. Abu Dawud dengan sanad jayyid berdasarkan persyaratan Imam Muslim).

Sungguh benar, lahirnya pemimpin yang baik sangat ditentukan oleh masyarakatnya yang baik pula. Masyarakat yang baik sangat ditentukan oleh kehidupan sosial dan kehidupan moral yang baik. Kesejahteraan suatu komunitas tidak hanya bergantung pada karakter dan kepemimpinan pemimpinnya, melainkan juga pada etika, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh seluruh anggota masyarakat.

Di antara kehidupan sosial dan moral yang baik adalah tercermin dalam pergaulan, pertemanan, dan persahabatan yang menjunjung prinsip dasar kehidupan;

‘silih asah, silih asih, dan silih asuh’.

Jangankan membantu kebaikan terhadap sesama terlebih terhadap pemimpin, sekadar ‘membisikkan’ kebenaran saja akan sangat berpengaruh dalam mewujudkan kehidupan yang lebih bahagia dan bermartabat. Dengan memegang teguh prinsip kebenaran dan saling peduli, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang harmonis, penuh kasih sayang, dan membangun fondasi kehidupan bersama yang kokoh.

 

 

 

Demikian penjelasan mengenai “Keabadian Pertemanan dalam Bayang-Bayang Kepemimpinan: Perspektif Islam terhadap Hubungan Sosial yang Berkekalan” Semoga berkah dan bermanfaat.

Apakah Anda butuh bimbingan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh? Maka Pusat Pendaftaran Umroh adalah pilihan yang tepat. Pusat Pendaftaran Umroh merupakan Travel Haji dan Umroh yang profesional dan sudah berpengalaman.

Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk Anda.

Sumber: Keabadian Pertemanan dalam Bayang-Bayang Kepemimpinan: Perspektif Islam terhadap Hubungan Sosial yang Berkekalan

Image: Pinterest

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *