Ada pepatah yang mengatakan bahwa mulutmu adalah harimaumu, yakni segala perkataan yang tidak dipikirkan akan merugikan diri sendiri. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling menasehati sehingga meraih banyak pahala. Namun, sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menjerumuskan seseorang ke neraka jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan.
Dengan kata lain, kekuatan lidah sebagai alat komunikasi bisa menjadi sumber kebaikan dan keberkahan jika digunakan dengan bijak, atau sebaliknya, menjadi sumber dosa dan keburukan jika digunakan secara sembrono atau merugikan.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk selalu memperhatikan perkataan dan memanfaatkan lidah dengan bijaksana untuk meraih kebaikan dan menghindari dosa.
Perlu adanya kesadaran seseorang terhadap fungsi dan bahaya lisan tersebut, karena akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah dan tidak berbicara kecuali yang bermanfaat. Kesadaran akan kekuatan kata-kata dapat membentuk perilaku berbicara yang lebih hati-hati, penuh pertimbangan, dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, individu dapat menghindari potensi konflik, keretakan hubungan, atau bahkan kesalahan yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Kesadaran terhadap dampak perkataan juga dapat memotivasi seseorang untuk lebih memilih kata-kata yang membangun, mendukung, dan menjauhi ujaran yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Bencana Yang Dapat Ditimbulkan Oleh Lidah
Membicarakan Sesuatu yang Tidak Bermanfaat
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat” [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, agar terhindar dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu berusaha membicarakan sesuatu yang mengandung kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam.
Namun, perlu diingat bahwa diam itu juga bisa menjadi pilihan yang baik. Dalam beberapa konteks, diam bisa lebih utama daripada berkata buruk. Misalnya, dalam konteks yang berpotensi menciptakan ketidaknyamanan atau konflik, diam bisa menjadi pilihan yang lebih bijaksana.
Selain itu, dalam konteks yang berpotensi menimbulkan ketakutan atau kecemasan, diam bisa menjadi pilihan yang lebih bijaksana. Misalnya, jika ada orang yang ditakuti kekejamannya, diam bisa menjadi pilihan yang lebih baik daripada berkata buruk.
Namun, perlu diingat bahwa diam bukanlah pilihan yang luas. Dalam banyak situasi, berkata baik bisa menjadi pilihan yang lebih bijaksana. Misalnya, dalam konteks yang berpotensi menimbulkan kebencian atau konflik, berkata baik bisa menjadi pilihan yang lebih baik daripada diam.
Secara umum, pilihan antara berkata baik atau diam harus dibuat berdasarkan situasi dan konteks yang tepat. Dalam banyak situasi, berkata baik bisa menjadi pilihan yang lebih bijaksana. Namun, dalam beberapa situasi, diam bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Oleh karena itu, penting untuk selalu mempertimbangkan situasi dan konteks yang tepat sebelum membuat pilihan.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang baik atau diam.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Berdebat Dengan Cara Batil Atau Tanpa Ilmu
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Mendebat yang dimaksud adalah mendebat dengan cara batil atau tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar, sebaiknya dia juga menghindari perdebatan. Karena debat itu akan membangkitkan emosi, mengobarkan kemurkaan, menyebabkan dendam, dan mencela orang lain. Lebih baik menjalani dialog yang bersifat konstruktif, di mana ide dan pandangan dapat disampaikan secara tenang, saling mendengarkan, dan mencari pemahaman bersama tanpa harus merendahkan pihak lain. Dengan demikian, suasana diskusi dapat menjadi lebih positif dan produktif.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya.” [HR. Abu Dawud].
Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki. Namun jika ditolak, maka hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Hal tersebut dalam masalah agama, apalagi dalam urusan dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat. Dalam keadaan seperti ini, bijak untuk memilih jalan damai, menghindari konflik yang tidak perlu, dan fokus pada upaya memberikan contoh positif serta memberikan informasi yang bermanfaat tanpa harus terlibat dalam perdebatan yang mungkin tidak menghasilkan solusi atau pemahaman yang lebih baik.
Banyak Berbicara, Suka Mengganggu dan Sombong
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun, dan al-mutafaihiqûn. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah mengetahui al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, tetapi apakah al-mutafaihiqun? Beliau menjawab: “Orang-orang yang sombong”. [HR Tirmidzi].
Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan;
”ats-Tsartsar adalah orang yang banyak bicara, sedangkan al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa mengganggu orang lain dengan perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”
Hal ini tidak termasuk pada perkataan sindiran untuk memberi peringatan, asal tidak berlebihan. Karena tujuannya adalah untuk membangkitkan hati dan menggerakkannya menuju kebaikan.
Mengucapkan Perkataan Keji, Jorok, Celaan, dan Semacamnya
Ucapan tersebut adalah perbuatan tercela dan terlarang. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” [HR. Tirmidzi dan Ahmad].
Perkataan keji dan jorok adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap keji (tabu) dengan kata-kata gamblang. Misalnya adalah perkataan yang tidak sopan, perkataan yang dapat menggugah syahwat dan semacamnya.
Keji atau tabu adalah perkataan atau perbuatan yang dianggap melanggar norma-norma sosial atau budaya. Hal ini biasanya dianggap buruk atau tidak pantas. Contohnya termasuk perkataan yang menyinggung kesempatan, ras, agama, atau orang lain secara langsung atau tidak langsung.
Jorok atau gamblang adalah cara untuk menyampaikan ide atau pesan yang sebenarnya tanpa menggunakan kata-kata yang jelas dan langsung. Contohnya termasuk menggunakan metafora, simbolisme, atau kode rahasia.
Namun, perlu diingat bahwa perkataan keji dan jorok bisa menjadi alat komunikasi yang efektif. Misalnya, perkataan keji bisa digunakan untuk menyampaikan kritik atau saran yang tidak langsung, sementara perkataan jorok bisa digunakan untuk mengungkapkan ide atau pesan yang sulit atau tidak mungkin untuk diungkapkan secara langsung.
Namun, perlu diingat bahwa perkataan keji dan jorok harus digunakan dengan bijak. Menggunakan perkataan keji atau jorok secara tidak tepat atau tanpa niat bisa menjadi cara yang buruk untuk berkomunikasi dan bisa menyebabkan konflik atau rasa takut.
Berlebihan dalam Bercanda
Semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang tertawa. Sesungguhnya, terlalu banyak canda dapat menjatuhkan wibawa seseorang, menyebabkan dendam dan permusuhan, serta mematikan hati. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara keceriaan dan kebijaksanaan, mengingat dampak yang dapat timbul dari candaan yang tidak tepat atau berlebihan.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati.” [HR. Ibnu Majah].
Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan dengan sabda beliau yang artinya:
“Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya! Kecelakaan baginya!” [HR. Tirmidzi dan Abu Dawud].
Bercanda boleh saja jika dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan yang benar, sebagaimana canda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka hal itu tidak mengapa. Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam perkataan benar itu seperti garam dalam makanan, yang memberikan rasa enak dan menyegarkan, namun harus dijaga agar takaran dan kadarannya sesuai dan tidak berlebihan agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
Membicarakan Suatu yang Bathil
Maksudnya adalah menceritakan perbuatan-perbuatan maksiatnya, seperti berbangga dengan perbuatan bermabuk-mabukan atau kemungkaran yang lain. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Semua umatku mu’afan (akan diampuni dosanya; atau tidak boleh dighibah) kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan buruk pada malam hari, kemudian di waktu pagi dia mengatakan, “Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan ini”. Padahal di waktu malam Allah Azza wa Jalla telah menutupi perbuatan buruknya, namun di waktu pagi dia membongkar tutupan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Oleh karena itulah, barangsiapa yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, hendaklah dia menutupi aib dirinya, tidak perlu bercerita kepada orang lain. Dalam Islam, menjaga privasi dan merahasiakan dosa-dosa yang telah ditinggalkan merupakan bagian dari konsep taubat yang sejati. Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan taubat yang ikhlas akan membawa keampunan-Nya. Dengan menjaga kerahasiaan taubat, seseorang juga menjaga kehormatan dirinya sendiri serta mencegah tersebarnya dosa-dosa masa lalu yang dapat merugikan dan merendahkan martabatnya di mata orang lain.
Ghibah
Gibah merujuk pada perbuatan menyebutkan atau membicarakan kejelekan atau kekurangan seseorang tanpa alasan yang dibenarkan. Dalam Islam, gibah dianggap sebagai tindakan yang sangat tidak dianjurkan dan bahkan diharamkan, kecuali dalam keadaan tertentu yang dikecualikan oleh syariat.
Beberapa dalil dan hadits yang menyinggung tentang hukum gibah antara lain:
Ayat Al-Qur’an
Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat (49:12):
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”
Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Tahukah kamu, apa itu ghibah (pergunjingan)? Sahabat-sahabatnya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Nabi bersabda, ‘Mengatakan sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai.’” (HR. Muslim)
Hukum ghibah dalam Islam sangat serius, dan Islam mengajarkan agar umatnya menjaga lisan dan hati dari berbicara atau membicarakan hal-hal yang tidak baik tentang orang lain tanpa alasan yang jelas atau tanpa keperluan yang benar. Pada dasarnya, Islam mendorong umatnya untuk memberikan nasehat dengan cara yang baik, bijaksana, dan penuh kasih sayang, bukan dengan cara menjelek-jelekan orang lain.
Fitnah
Fitnah dalam konteks Islam merujuk pada perbuatan atau tindakan yang menimbulkan ujian, cobaan, atau godaan yang dapat merusak ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan. Fitnah bisa mencakup berbagai hal seperti godaan dosa, konflik, fitnah sosial, dan sebagainya.
Dalam Islam, fitnah dikecam dan dihindari, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pemikiran yang dapat menciptakan ketidakstabilan atau kekacauan.
Beberapa dalil dan hadits yang menyinggung tentang hukum fitnah antara lain:
Ayat Al-Qur’an
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:155):
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”
Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Bukankah kamu melihat orang yang dianggap baik oleh manusia? Jika kamu melihat (orang yang) dianggap baik oleh manusia, maka ujilah dia terhadap istri-istrinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas, Nabi memberikan peringatan agar tidak terjebak dalam penilaian positif terhadap seseorang tanpa uji coba. Tujuan ujian ini adalah untuk membuktikan keikhlasan dan kesabaran seseorang dalam menghadapi fitnah atau cobaan.
Fitnah juga sering diidentifikasi sebagai perbuatan menyebarkan berita palsu, memfitnah, atau menyebabkan kerusuhan di masyarakat. Islam menekankan pentingnya keadilan, kebenaran, dan kejujuran, serta mengajarkan agar umatnya menjauhi perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah.
Dalam konteks sosial, fitnah dianggap sebagai penyebab konflik dan ketidakstabilan. Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk menjaga lisan, menjauhi ujaran atau tindakan yang dapat menimbulkan fitnah, dan berusaha menciptakan harmoni dalam masyarakat.
Dusta
Dusta atau kebohongan dalam Islam dikecam dan dianggap sebagai perbuatan yang merugikan. Beberapa dalil dan hadits mengenai dusta antara lain:
Dalil Al-Qur’an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:42):
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”
Dalam Surah Al-Baqarah (2:286), Allah berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Hendaklah seorang mukmin berbicara baik atau diam.”
Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Alahadis al-Kadzib (hadits palsu) adalah satu dari tanda-tanda munculnya zaman kiamat. Seseorang akan datang padamu membawa sesuatu yang belum pernah engkau dengar (pandangan agama), dan engkau dan bapak-bapakmu belum mengetahui itu. Bahkan kalian harus berhati-hati agar tidak diputarbalikkan (oleh orang yang membawanya).” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Seorang hamba tidak pernah berbicara dengan suatu kata, tanpa menyadarinya, yang membuatnya masuk neraka yang lebih dalam daripada jarak yang ditempuh antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam Islam, kejujuran dan kebenaran diutamakan, dan umat Islam dilarang untuk berdusta. Dalam beberapa situasi tertentu, seperti untuk menjaga keselamatan atau meredakan konflik, ada pengecualian dalam berbicara, tetapi kebohongan harus dihindari sebisa mungkin. Pada umumnya, kebohongan dianggap sebagai perbuatan dosa yang harus dihindari oleh umat Islam.
Demikian penjelasan mengenai “Kekuatan Lidah: Menjaga Keberkahan atau Memicu Bencana” Semoga berkah dan bermanfaat.
Apakah Anda butuh bimbingan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh? Maka Pusat Pendaftaran Umroh adalah pilihan yang tepat. Pusat Pendaftaran Umroh merupakan Travel Haji dan Umroh yang profesional dan sudah berpengalaman.
Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk Anda.
Sumber: Kekuatan Lidah: Menjaga Keberkahan atau Memicu Bencana
Image: http://tinyurl.com/3jbvrxd2