Sebuah klasifikasi ilmiah, sebenarnya tak masalah bila tauhid dilihat dari dua aspek berbeda, yakni aspek penciptaan dan aspek peribadahan. Aspek penciptaan ini kemudian melahirkan konsep “Tauhid Rububiyah” yang menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam semesta ini hanyalah satu saja, yakni Allah SWT. Dari aspek peribadahan kemudian muncul aspek “Tauhid Uluhiyah” yang menjelaskan bahwa masyarakat harus menyembah Allah semata tanpa dibarengi dengan sesembahan lainnya. Sampai di sini sebenarnya klasifikasi ini biasa saja dan tak ada yang baru sehingga para ulama Imam at-Thabari dalam tafsirnya berkata:
كانت العرب تقر بوحدانية الله غير أنها كانت تشرك به في عبادته
“Orang Arab (jahiliyah) mengakui keesaan Allah tetapi mereka menyekutukan-Nya dalam hal ibadah.”
Klasifikasi istilah “Rububiyah” dan “Uluhiyah” itu didasarkan pada perbedaan arti kata “rabb” dan “ilah” yang menjadi kata dasar dari keduanya. Sebagaimana diterangkan oleh al-Maqrizi, seorang sejarawan bermazhab Syafi’i yang hidup di abad kesembilan Hijriah, kata “rabb” berasal dari kata rabba-yarubbu yang berarti yang mencipta, merawat, dan yang bertanggung jawab atas penciptaan, rezeki, kesehatan dan perbaikan.
Sedangkan kata “ilah” berarti menjadikan sebagai yang disembah (ma’lûh) sehingga menjadi satu-satunya yang dicintai, ditakuti, diharapkan dan meskipun secara bahasa diketahui bahwa makna leksikal antara “rabb” dan “ilah” mempunyai perbedaan, namun dalam tataran penggunaannya tak demikian. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebab dalam logika paling sederhana dapat diketahui bahwa sosok yang mencipta dan merawat alam semesta adalah satu-satunya sosok yang layak disembah. Demikian pula mustahil seorang manusia berakal akan melakukan penyembahan pada sosok yang sama sekali tak terlibat dalam penciptaan dan perawatan alam semesta
Itulah sebabnya para penyembah berhala tidak menyembah segala objek yang mereka lihat atau mereka buat, namun hanya objek tertentu saja yang mereka yakini punya andil dalam sisi rububiyah. Musyrikin jahiliyah tahu betul bahwa mereka mendapat manfaat yang banyak dari pohon kurma, satu-satunya pohon yang dapat hidup subur menghasilkan makanan pokok di padang pasir, tetapi tak ada satu pun yang menyembahnya sebab mereka tak meyakini pohon kurma punya sisi ketuhanan.
Sebaliknya, mereka tahu betul kalau patung-patung buatan mereka tak bergerak dan tak bisa melakukan apa pun secara fisik tetapi mereka meyakininya sebagai sosok yang mempunyai aspek rububiyah, karena itulah mereka menyembahnya. Andai mereka begitu bodohnya (jahil) menyembah sesuatu yang mereka yakini tak punya kuasa rububiyah sama sekali, maka pasti mereka akan lebih menuhankan pohon kurma atau unta daripada berhala buatan tangan mereka sendiri yang secara kasat mata tak bisa apa-apa itu.
Karena makna “rabb” dan “ilah” ini tak terpisahkan dalam praktiknya, maka kedua kata ini biasa diterjemah sama sebagai “Tuhan” dalam bahasa apa pun dan tak dibedakan lagi penggunaanya secara umum. Bahkan dalam Al-Qur’an pun, penggunaan keduanya juga tak dibedakan. Allah berfirman pada QS. Ali Imran: 70, berbunyi:
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَ وَٱلنَّبِيِّنَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُم بِٱلْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai rabb-rabb (Tuhan-Tuhan). Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?”.
Dalam ayat di atas secara tegas Allah mengisyaratkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan para malaikat dan pada nabi sebagai “rabb” di samping Allah. Ini bukti bahwa kata “rabb” juga bermakna sesembahan seperti kata “ilah”. Penggunaan bentuk plural dari kata “rabb” menjadi “arbâb” dalam ayat itu menjadi bukti lain bahwa asumsi sebagian orang bahwa kaum musyrik bertauhid dalam level rububiyah adalah isapan jempol belaka sebab nyata-nyata mereka mengenal adanya “arbâb” atau Tuhan-Tuhan yang memiliki kuasa rububiyah. Meskipun memang “rabb” dalam keyakinan kaum musyrik bertingkat.
Dalam ayat lain, Allah lebih tegas lagi berfirman pada QS. As-Syu’ara’: 97-98, yaitu berbunyi:
تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan (Rabb) semesta alam”.
Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan “Rabb al-‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah Allah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pembedaan istilah “Tauhid Rububiyah” dan “Tauhid Uluhiyah” hanyalah benar dalam tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi yang murni teoritis. Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa dibedakan.
Dengan demikian, klaim bahwa orang musyrik jahiliyah sebenarnya bertauhid di level Rububiyah tetapi musyrik hanya di level Uluhiyah adalah klaim yang tidak tepat. Bahkan kita sadar bahwa yang dilawan oleh para Nabi bukan hanya kaum musyrik tetapi juga kaum ateis yang sama sekali tak percaya keberadaan Allah.
Demikian penjelasan mengenai “Klasifikasi dan Konsep Tauhid Rububiyah serta Uluhiyah” Semoga berkah dan bermanfaat.
Apakah Anda butuh bimbingan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh? Maka Pusat Pendaftaran Umroh adalah pilihan yang tepat. Pusat Pendaftaran Umroh merupakan Travel Haji dan Umroh yang profesional dan sudah berpengalaman.
Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk Anda.
Sumber : https://nu.or.id/ilmu-tauhid/tauhid-rububiyah-dan-uluhiyah-adalah-satu-kesatuan-XJNeC
Image : https://tirto.id/